Oleh J.S. Badudu

Dalam bahasa, kita mengenal apa yang disebut sebagai kata ganti orang atau pronomina. Khusus dalam bahasa Indonesia, ada beberapa macam kata ganti ini. Ada kata ganti orang pertama (yang berbicara), seperti “aku”, “saya”, “hamba” (tunggal) dan “kami”, “kita” (bentuk jamak). Ada juga kata ganti orang kedua (yang diajak bicara), yakni “engkau”, “kau”, “kamu” (tunggal) dan “kalian” (jamak). Terakhir, kata ganti orang ketiga (yang dibicarakan), misalnya “ia”, “dia”, “beliau” (tunggal) dan “mereka” (jamak).

Kata “aku” lebih bersifat akrab dan intim, karena biasanya digunakan dalam lingkungan keluarga, sahabat, atau teman dekat. Sering juga digunakan jika orang yang diajak bicara lebih muda usianya, atau lebih rendah kedudukannya dari yang berbicara. Untuk orang yang lebih tua atau atasan, lazimnya digunakan “saya” yang lebih halus dari “aku”.

Sedangkan kata “hamba” biasanya ditujukan kepada Tuhan. Misalnya, saat berdoa, seseorang mengucapkan, “Oh Tuhan, berilah hambamu rezeki yang cukup.” Oh ya, ada lagi kata yang dulu sering digunakan terhadap raja (mudah ditemui dalam karya sastra lama), semisal kata “patik”. Namun dalam sastra modern, kata ini hampir tidak pernah dipakai lagi.

Berikutnya, kata “kami” digunakan untuk orang pertama jamak. Selain itu, dikenal juga kata “kita”, yang digunakan bila orang yang diajak bicara (orang kedua) termasuk di dalamnya. Ini fenomena yang agak unik. Sebab dalam bahasa Inggris, Belanda, maupun Arab, hanya dikenal satu bentuk kata yang mencakup pengertian, baik “kami” maupun “kita”. Inggris punya we, Belanda wij, dan Arab nahnu.

Kata ganti orang kedua yang lebih halus, belakangan sering dipakai “Anda” atau “saudara”, atau kata-kata benda untuk kata sapaan, seperti “ibu”, “bapak”, “tuan”, “saudara paman”, “bibi”. Sedangkan kata ganti orang ketiga (orang yang dibicarakan), bentuk tunggalnya menggunakan “ia”, “dia”, atau “beliau”, sedangkan jamaknya “mereka”. Bahasa Inggrisnya : they, Belanda zij, Arab hum (laki-laki) dan hunna (perempuan).

Banyak peminat bahasa menanyakan penggunaan kata mereka yang diulang menjadi “mereka-mereka”. Padahal, “mereka” itu sendiri sudah mengandung pengertian jamak. Misalnya dalam kalimat: Mereka-mereka yang datang ke pesta itu semuanya berpakaian bagus. Atau, Setujukah kau dengan yang diusulkan mereka-mereka itu? Jelas pengulangan kata “mereka-mereka” dalam kedua kalimat di atas tidak tepat. Tanpa diulang, kata “mereka” sudah mengandung pengertian yang diinginkan, yakni orang ketiga jamak. Mengapa harus ditegaskan lagi menjadi mereka-mereka?

Namun dapat dipertimbangkan penggunaan kata mereka yang diulang dalam kalimat berikut: Kalau ada pembagian, mereka-mereka saja yang dapat, kita tidak pernah diberi. Dalam kalimat ini, pengulangan kata “mereka” tidak untuk menyatakan makna jamak, tetapi mengandung pengertian selalu, artinya selalu mereka saja yang dapat.
Bandingkan dengan kalimat-kalimat berikut. Dalam suatu pertemuan orang tua murid, seorang ayah berkata, “Jangan memanjakan anak, karena akhirnya kita-kita juga yang susah.” Atau cerita tentang seorang murid yang terkenal nakal dan selalu dituduh oleh gurunya sebagai pembuat keributan. Tetapi suatu waktu, ketika keributan terjadi bukan karena ulahnya, dia juga yang dituduh. Karena itu, si murid pun berkata, “Kalau ada keributan di kelas ini, saya-saya saja yang dituduh.”

Nah, kini jelas kesimpulannya: Pengulangan kata ganti orang tidak selalu untuk menjamakkan (menyatakan jumlah banyak), tetapi dapat juga untuk menyatakan arti “selalu”. ***

Sumber : Intisari, November 2001

Tulisan ini mungkin bisa dikatakan terlambat. Pasalnya, fenomena “Gerakan Syahwat Merdeka” ini telah mencuat pada 20 Desember 2006 yang lalu dalam sebuah pidato kebudayaan yang disampaikan Taufiq Ismail di depan Akademi Jakarta. Namun, sekadar untuk ikut urun rembug dalam menyikapi dinamika dunia sastra, tak apalah kalau akhirnya saya ikut-ikutan latah membuat postingan “sampah” ini. hehehehe 😀

TIDi depan Akademi Jakarta pada 20 Desember 2006, Taufiq Ismail dengan gayanya yang memukau menyampaikan sebuah pidato kebudayaan berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka” yang berisi 37 paragraf. Dalam pidatonya, penyair Angkatan ’66 itu mengeluhkan dan merisaukan munculnya arus besar yang menyerbu negeri ini, yakni gelombang yang dihembuskan oleh Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Menurutnya, gerakan tersebut tak bersosok organisasi resmi yang tidak berdiri sendiri, tapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa yang mendanainya, ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media cetak dan elektronik jadi pengeras suaranya. Dismpulkan oleh Taufiq Ismail, GSM telah mendestruksi moralitas dan tatanan sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong kapitalisme jagat raya.

Disebut-sebut ada 13 komponen yang melahirkan gelombang Gerakan Syahwat Merdeka, di antaranya: (1) praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok dalam perilaku seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi; (2) penerbit majalah dan tabloid mesum, yang telah menikmati tiada perlunya SIUPP; (3) produser, penulis skrip dan pengiklan acara televisi syahwat; (4) 4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100,000 (seratus ribu) situs porno; (5) penulis, penerbit dan propagandis buku syahwat – sastra dan – sastra; (6) penerbit dan pengedar komik cabul; (7) produsen, pengganda, pembajak, pengecer dan penonton VCD/DVD biru; (8) fabrikan dan konsumen alkohol; (9) produsen, pengedar dan pengguna narkoba; (10) fabrikan, pengiklan dan pengisap nikotin; (11) pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan; (12) germo dan pelanggan prostitusi; dan (13) dokter dan dukun praktisi aborsi.
Pidato kebudayaan Taufiq Ismail mendapatkan respon yang cukup keras dari Hudan Hidayat, salah seorang penggagas Memo Indonesia. Dalam sebuah esainya, “Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya yang dimuat di harian Jawa Pos, sastrawan muda itu menyatakan seperti berikut ini.

“Nakal” dan”‘santun”, “pornografi” atau “suara moral”, “gelombang syahwat” seperti kata Taufik Ismail, ternyata bersandar pada-Nya jua dalam scenario nasib manusia dan takdir dunia. Budaya “kekerasan” itu telah ditandaskan Tuhan sebagai nasib manusia dan takdir dunia. Turunlah kamu semuanya. Sebagian dari kamu akan berbunuhan satu sama lain…(QS 2 ayat 30). “Berbunuhan”, bagi saya adalah nasib manusia dan takdir dunia. “Berbunuhan” bisa dirujuk pada semua yang diteriakkan Taufik Ismail. Kata-kata saling “membunuh” ini, dalam sastra, menemukan bentuknya pada pelbagai cerita yang seolah “menjauh” dari Tuhannya. Sastrawan akan membuat kisah, dengan “pornografi” sebagai sampiran, bukan inti cerita. Pornografi diletakkan sebagai pintu ke dalam makna yang lebih luas, di mana keluasaannya akan mengatasi scene pornografi. Cerita bergaya Nick Carter, kata Taufik Ismail, telah meruyak ke dalam sastra. Tapi, saya belum pernah menemukannya. Lagi pula, apa yang salah? Bukankah “pembaca” dewasa akan menerobos “ketelanjangan” Adam dan Hawa di surga, dalam dua versinya.

Alhasil, esai Hudan Hidayat (HH) pun mendapatkan respon yang tak kalah seru dari Taufiq Ismail. Di harian yang sama, dalam sebuah esainya “HH dan Gerakan Syahwat Merdeka”, penyair yang liriknya sering dinyanyikan oleh group musik Bimbo ini menyatakan bahwa ada serangkaian rencana kegiatan menarik yang disarankan dilaksanakan HH sebagai seorang penulis fiksi. Rangkaian kegiatan ini merupakan suatu bentuk sosialisasi karya ke masyarakat, terdiri dari empat tahap. Tujuannya adalah untuk memperjelas posisi sebagai penganut paham neo-liberalisme dari HH dan kawan-kawannya. Salah satu tahap yang penting dilakukan saya kutipkan berikut ini.

Tahap keempat, undanglah seluruh komponen Gerakan Syahwat Merdeka berkumpul melakukan show of force seminggu di ibu. Komponen itu terdiri dari pembajak-pengedar VCDDVD porno, redaktur majalah cabul, bandar-pengguna narkoba, produsendistributor-pengguna alkohol, penulispengguna situs seks di internet, germopelaku prostitusi, dokter spesialis penyakit kelamin, dokter aborsi, dan dokter psikiatri. Bikin macam-macam acara sosialisasi. Penulis FAK beramai-ramailah baca karya di depan publik dengan peragaannya. Mintakan pelopor penulis Angkatan FAK Ayu Utami dan Djenar Mahesa Ayu tampil lebih dahulu baca cerpen. Lalu adakan promosi buku kumpulan cerpen dan novel FAK dengan diskon 40 persen. Catatlah bagaimana reaksi publik. Tarik kesimpulan. Dalam evaluasi terakhir sehabis tahap keempat, tim dokter psikiatri akan menentukan diagnosis terhadap para pasien penulis Angkatan FAK, sampai seberapa parah sindrom patologis kejiwaan mereka. Terutama dalam kasus klinis nymphomania, overproduksi kelenjar hormon kelamin dan obsesi genito-philia, yaitu cinta berlebihan pada alat kelamin, termasuk adiksi pada onani-masturbasi.

Pasca perdebatan seru antara Taufik Ismail dan Hudan Hidayat, seperti biasa, akan memancing reaksi pro dan kontra dari kubu-kubu yang berseberangan. Tanpa bermaksud untuk memperuncing polemik, yang pasti dalam hampir setiap polemik, suasana “narcisme” tampak betul “menyetubuhi” masing-masing pihak dalam mempertahankan kebenaran pendapat mereka. Justifikasi terhadap nilai-nilai kebenaran tampak “belepotan” untuk menghantam “kesesatan opini” yang dilancarkan oleh kubu lawan.

Dalam konteks ini, ada baiknya kita bercermin dari Goenawan Mohamad dalam merespons polemik yang seolah-olah mempertentangkan antara kebebasan berkarya dan standar-standar moralitas itu. Goenawan Mohamad yang juga pengelola blog Catatan Pinggir yang juga dituding berada di balik Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) karena aktif di Teater Utan Kayu yang berkolaborasi dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori Ulil Abshar Abdalla itu menilai bahwa “TUK itu Bukan Organisasi, Bukan Mazhab”. Berikut kutipan wawancara Rizka Maulana (RM) dengan GM yang berlangsung di Teater Utan Kayu (TUK)

RM: Wah, kan Mas GM orang TUK. Kan TUK tidak suka karya-karya sastrawan yang tidak dekat dengan TUK. Apalagi Saut.

GM: TUK itu bukan organisasi. TUK tempat kegiatan seni dan gagasan. Di TUK tidak selamanya kami sepaham dalam menilai karya – dan kami umumnya tidak membicarakan karya Saut, atau yang lain, karena masing-masing sibuk. Kami cuma bertemu seminggu sekali untuk merancang program. Itu saja sudah berat.

RM: Jadi Mas GM, Hasif Amini, Nirwan Dewanto dan Sitok Srengenge tidak selalu sependapat?

GM: Ya, dong. Sekali lagi, TUK itu bukan organisasi, bukan mazhab. Hasif Amini bekerja untuk Kompas dengan timnya sendiri, Nirwan di Koran Tempo begitu juga. Malah sajak saya pernah tidak dimuat oleh Hasif.

(Sekadar catatan: Saut Situmorang adalah penggagas “Ode Kampung” di Rumah Dunia Banten yang sering “menghajar” TUK. Dia beserta kelompoknya dinilai tak kenal lelah terus ‘mengonceki’ para tokoh TUK, seperti Nirwan Dewanto, Ayu Utami, Hasif Amini, Sitok Srengenge dan lainnya. Menurutnya, mereka tidaklah layak digelari sebagai sastrawan.)

Ya, betapa penyair yang mencuat lewat antologinya Parikesit (1969) dan Interlude (1971) yang disebut-sebut sebagai puisi ber-genre puisi kontemplatif, puisi imajis, atau puisi suasana itu terasa lebih tenang dan arif dalam menghadapi berbagai tulisan yang memojokkan dirinya. Sampai-sampai Gerakan Syahwat Merdeka yang disingkat GSM pun dinilai identik dengan singkatan namanya GSM (Goenawan Soesatyo Mohamad).

Saya bukanlah anggota TUK. Saya juga bukan pengikut setia Taufiq Ismail. Namun, mencermati polemik yang terjadi, agaknya masing-masing kubu perlu menurunkan tensi dan “syahwat”-nya dalam berpolemik. Sastra adalah sebuah dunia imajiner yang sangat erat kaitannya dengan kemerdekaan berkarya dan berkreasi. Persoalan standar moral itu sangat erat kaitannya dengan penafsiran-penafsiran. Oleh karena itu, daripada menghabiskan waktu dan tenaga untuk terus berpolemik, lebih baik dimanfaatkan untuk berkarya.

Pak Taufiq Ismail, sebagai sosok “pinisepuh” yang amat disegani dan dihormati dalam dunia sastra, –mohon maaf bukan sok menggurui– hendaknya juga lebih banyak memberikan apresiasi, dorongan, dan suntikan moral kepada sastrawan-sastrawan muda yang kini banyak bermunculan, bukannya mencemooh dan”menistakan” karya-karya mereka lantaran dianggap bertentangan dengan standar moral bangsa. Biarkanlah publik sastra yang akan menilai sebatas mana kualitas karya-karya mereka. Jangan sampai terjadi pemberangusan karya-karya sastra dari kalangan sendiri yang justru akan melahirkan sebuah preseden dalam dunia penciptaan teks-teks sastra.

Demikian juga bagi sastrawan-sastrawan muda yang kebetulan terkena imbas dan stigma “gerakan syahwat merdeka” mungkin sudah saatnya melakukan refleksi agar tak lagi “men-syahwat-kan” teks-teks sastra yang diluncurkannya. Nah, salam budaya! ***

Paling tidak dalam paro dekade terakhir, muncul fenomena baru dalam jagad kesusastraan Indonesia mutakhir, yakni memburu legitimasi kesastrawanan melalui antologi. Seseorang baru layak disebut sastrawan apabila dari tangannya telah lahir sebuah antologi (baik puisi maupun cerpen). Sebaliknya, mereka yang belum memiliki antologi, meski sudah bertahun-tahun intens menggeluti dunia kesastraan, belum layak menyandang predikat sastrawan. Begitu pentingkah sebuah antologi bagi seorang penulis sehingga perlu terus berjuang untuk mewujudkannya?

Ya, ya, ya! Antologi memang bisa menjadi alat dan media untuk mengukuhkan legitimasi kesastrawanan seseorang. Apalagi, seseorang yang memilih dunia kesastraan sebagai bagian dari “panggilan” hidup, tetaplah butuh sebuah pengakuan. Kehadiran sebuah antologi bisa jadi akan makin mengukuhkannya sebagai sastrawan. Namun, persoalan akan menjadi lain ketika antologi menjadi sebuah tujuan.

Menggeluti dunia sastra pada hakikatnya memahami hidup dan kehidupan sebagai bagian dari dinamika kebudayaan yang berujung pada upaya pemuliaan hidup dan martabat kemanusiaan. Teks-teks kreatif yang lahir dari tangan sastrawan mesti dipahami sebagai perwujudan dan pengejawantahan “kebajikan” hidup untuk memberikan penafsiran dan penerjemahan kompleksitas denyut kehidupan sehingga memberikan “katharsis” dan pencerahan hidup dari berbagai macam pembonsaian nilai-nilai kemanusiaan.

Karena menggeluti dunia sastra adalah panggilan hidup untuk memuliakan nilai dan martabat kemausiaan, kreativitas sastrawan akan senantiasa diuji oleh zaman dan dinamika peradaban. Artinya, kematangan dan kedewasaan kreativitas seorang sastrawan tidak semata-mata ditentukan oleh kehadiran sebuah antologi, tetapi lebih oleh gairah dan kesuntukan dalam menggeluti kesastraan sebagai panggilan hidup. Kalau toh hadir sebuah antologi yang menampung teks-teks sastra kreatifnya, itu mesti dimaknai sebagai imbas, efek samping, atau bolehlah disebut sebagai “tonggak sejarah” yang benar-benar melegitimasi derajat kesastrawanannya.

antologi.jpgPersoalannya, hidup di tengah-tengah zaman yang kian menghamba pada selera kaum kapitalis ini tidaklah mudah untuk menerbitkan antologi sastra. Untung-rugi selalu menjadi pertimbangan utama. Sebuah penerbit biasanya tidak akan berbuat konyol dengan menerbitkan buku-buku sastra (termasuk antologi) kalau akhirnya buku-buku tersebut “mati” di pasaran.

Ya, para penulis memang masih bisa berkiprah meluncurkan teks kreatif melalui media massa cetak atau blog di dunia maya. Namun, umumnya hanya singgah sebentar dalam imaji publik untuk kemudian segera dilupakan; tidak semua mampu “memfosil” dan menyejarah dalam wilayah apresiasi. Hanya beberapa di antara mereka yang mampu membangun kolaborasi dengan penerbit sehingga mempunyai sebuah antologi.

Lantas, bagaimana dengan karya-karya penulis yang secara literer tidak kalah hebat dari teks-teks sastra yang telah terantologi, tetapi tak terjamah oleh penerbit buku?

Kalau kebetulan kita melakukan blogwalking, kita akan menemukan banyak teks fiksi bertaburan di dunia maya yang layak dikategorikan sebagai teks sastra. Karya-karya “mengagumkan” semacam itu memang memiliki jangkauan pembacaan yang “nyaris” tak terbatas. Siapa pun bisa mengapresiasinya. Namun, seringkali karya-karya bagus semacam itu hanya singgah sebentar dalam imaji publik untuk kemudian terlupakan.

Secara jujur harus diakui, kehadiran sebuah buku belum tergantikan oleh media apa pun dalam upaya mengabadikan pemikiran dan geliat batin seorang penulis. Buku mampu menyuguhkan beragam menu yang bergizi sehingga mampu memberikan asupan batin yang mencerahkan dan sekaligus menyehatkan rohaniah pembacanya. Banyak buku hebat yang mampu membuka dimensi baru dalam dunia pemikiran pembaca sehingga tidak gampang tereduksi untuk melakukan tindakan tak terpuji, menyesatkan, dan terjerat dalam ulah anomali sosial.

Saya menemukan banyak blog yang mampu menjalankan peran semacam itu. (Saya yakin, para pengunjung blog juga bisa memberikan penilaian, sehingga tak perlu *halah* saya sebutkan link-nya). Postingan-postingannya mampu memberikan pencerahan baru melalui gaya ucap yang enak dan komunikatif. Tidak suka mengumbar sensasi dan sebanyak-banyaknya berupaya membangun peradaban yang lebih bermoral, beradab, berbudaya, dan religius.

Karena demikian pentingnya kehadiran sebuah buku dalam upaya membangun peradaban yang lebih bermoral, beradab, berbudaya, dan religius, paling tidak dibutuhkan kehadiran seorang dokumentator yang dengan cermat, suntuk, dan intens senantiasa mengikuti perkembangan dan dinamika tulisan yang terpublikasikan di blog, untuk selanjutnya membedah dan menganalisis tanpa harus menggunakan perangkat teori yang muluk-muluk dan bombastis.

Persoalannya sekarang, adakah seorang dokumentator yang berkenan dengan suka rela menjalankan tugas kemanusiaannya untuk mengumpulkan teks-teks fiksi terbaik yang terpublikasikan di media blog untuk selanjutnya diterbitkan menjadi sebuah buku? Saya yakin, bahkan haqqul yakin, pada saatnya nanti akan muncul dokumentator berhati jujur, mulia, tanpa pamrih, dan berusaha sebanyak-banyaknya merangkul teman-teman blogger untuk selanjutnya diajak beraksi bersama melakukan sebuah perubahan melalui buku. Nah, bagaimana? ***

Pernah membaca cerpen “Langit Makin Mendung” (LMM) karya Kipandjikusmin? Bagaimana kesan Sampeyan? Benci, geram, atau justru diam-diam mengaguminya? Ya, cerpen itulah yang pernah membikin “heboh” jagad sastra Indonesia karena dinilai telah melanggar batas kepantasan sebagai sebuah teks cerpen yang ingin mengungkap persoalan-persoalan religi. Cerpen yang pernah dimuat di majalah Sastra No. 8 (edisi Agustus) tahun 1968 itu telah mengundang reaksi umat Islam. Ratusan eksemplar majalah Sastra di berbagai toko, agen dan pengecer di kota Medan disita oleh Pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Kantor majalah Sastra diberangus dan dicoreti dindingnya dengan berbagai hujatan dan hinaan. Redaktur majalah Sastra, H.B. Jassin harus berurusan dengan pihak yang berwajib, bahkan divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun karena dianggap melakukan penodaan agama (pasal 156a KUHP).

39 tahun sudah “heboh sastra” itu berlangsung. Namun, LMM dan Kipandjikusmin tetap saja menjadi sebuah fenomena dalam dinamika sejarah sastra Indonesia.

Tulisan ini saya angkat sebagai topik tanpa memiliki tendensi apa-apa. Apalagi, bermaksud mengungkit-ungkit “luka lama” tentang polemik antara kubu yang pro dan kontra terhadap keberadaan LMM. Toh sejarah sastra Indonesia juga telah mencatatnya dalam “dokumen hitam” sebagai wujud “konflik” yang (nyaris) tak pernah berujung antara kebenaran “imajinasi” dalam teks sastra dan kebenaran objektif dalam realitas kehidupan. Saya juga tak bermaksud mengaitkannya dengan “heboh nabi baru” dalam isu mutakhir Indonesia saat ini yang juga disinggung-singgung dalam LMM. Anggap saja tulisan ini sebagai nostalgia “tragik” yang menimpa seorang penulis berbakat –Kipandjikusmin– yang akhirnya harus terdepak dari “singgasana” sastra Indonesia akibat “menghamba” pada liarnya imajinasi dan ke-“kenes”-annya dalam mengangkat persoalan-persoalan religi yang peka dan rentan konflik.

pleidoi-sastra1.jpgTak banyak yang tahu siapa sesungguhnya Kipandjikusmin itu. Ada yang menduga –melihat kegigihan H.B. Jassin dalam membela LMM dan Kipandjikusmin di pengadilan– Kipandjikusmin adalah pseudonim H.B. Jassin sendiri. Namun, dugaan itu keliru setelah majalah Ekpress pimpinan Goenawan Mohammad (1970) berhasil mewawancarainya. Kepada Usamah –redaktur pelaksana Ekspress— penulis misterius itu mengaku bahwa nama aslinya adalah Soedihartono yang menempuh pendidikan di Akademi Pelayaran Nasional. Selama 6 tahun menjalani wajib dinas di Jakarta. Hanya itu. Dua tahun sebelumnya, melalui harian Kami (22 Oktober 1968), Kipandjikusmin juga pernah menyatakan bahwa dia tidak bermaksud menghina agama Islam. Tujuan sebenarnya adalah semata-mata hasrat pribadinya untuk mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Muhammad S.A.W, sorga, dll. selain menertawakan kebodohan di masa rezim Soekarno.

LMM bertutur tentang Nabi Muhammad yang turun kembali ke bumi. Muhammad diizinkan turun oleh Tuhan setelah memberi argumen bahwa hal itu merupakan keperluan mendesak untuk mencari sebab kenapa akhir-akhir ini umatnya lebih banyak yang dijebloskan ke neraka. Upacara pelepasan pun diadakan di sebuah lapangan terbang. Nabi Adam yang dianggap sebagai pinisepuh swargaloka didapuk memberi pidato pelepasan. Dengan menunggangi buroq dan didampingi Jibril, meluncurlah Muhammad. Di angkasa biru, mereka berpapasan dengan pesawat sputnik Rusia yang sedang berpatroli. Tabrakan pun tak terhindar. Sputnik hancur lebur tak keruan. Sedangkan, Muhammad dan Jibril terpelanting ke segumpal awan yang empuk. Tak disangka, awan empuk itu berada di langit-langit. Untuk menghindari kemungkinan tak terduga, Muhammad dan Jibril menyamar sebagai elang. Dalam penyamaran itulah, Muhammad berkeliling dan mengawasi tingkah polah manusia dengan bertengger di puncak Monas (yang dalam cerpen itu disebut “puncak menara emas bikinan pabrik Jepang”) dan juga di atas lokalisasi pelacuran di daerah Senen.

Lewat dialog antara Muhammad dan Jibril maupun lewat fragmen-fragmen yang berdiri sendiri, Kipandjikusmin memotret wajah bopeng tanah air masa itu: negeri yang meski 90 persen Muslim, tetapi justru segala macam perilaku lacur, nista, maksiat, dan kejahatan tumbuh subur. Lewat cerpen ini, Kipandjikusmin menyindir elite politik dengan cara culas. Soekarno disebutnya sebagai “nabi palsu yang hampir mati”. Soebandrio yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri disindirnya sebagai “Durno” sekaligus “Togog”.

Cerpen diakhiri dengan sebuah sindiran halus tapi pedas; sebuah sindiran yang persis menancap di ulu hati kepribadian manusia negeri ini. Begini bunyinya: “Rakyat rata-rata memang pemaaf serta baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan lapang dada. Hati mereka bagai mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.”

Sebuah cerpen yang sungguh-sungguh “liar” imajinasi, bukan? Dalam penafsiran awam saya, LMM bisa dibilang sebagai sebuah cerpen multiwajah. Ada banyak dimensi yang ingin dihadirkan di sana. Politik, ekonomi, agama, sosial, budaya, bahkan juga militer, tampak benar bagaikan mozaik yang saling bertempelan; membangun sebuah desain cerpen yang liar, menegangkan, sekaligus menghanyutkan. Lewat gaya bertuturnya yang kenes, satire, dan sarat kritik, LMM mampu membombardir imajinasi pembaca dan hanyut dalam emosi purba; “gemas”, bahkan mungkin juga geram.

Paragraf pembukanya saja sudah cukup mampu membangkitkan “aura fanatisme” keagamaan bagi pembaca yang terbiasa membaca teks-teks sastra konvensional. Simak saja beberapa penuturannya berikut ini!

LAMA-LAMA mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di surgaloka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.

“Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaranMu; beratus tahun tanpa henti.”

Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia…. Dipanggillah penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad saw…

(Tuhan dipersonifikasikan dengan gaya bertuturnya yang kenes: “menggeleng-gelengkan kepala …”)

Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng Spesial diundang.

Patih-patih dan menteri-menterinya tak mau kalah gaya. Tinggal hulubalang-hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.

(Kritik terhadap rezim Orde Lama yang suka bernafsi-nafsi dan memanjakan nafsu hedonis, tak peduli terhadap nasib rakyat yang dijerat kemiskinan dan kelaparan).

Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang –lagi palang merah– kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah. Senja terkapar menurun, diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang reot.

(Satire bagi kalangan wong cilik yang suka mengumbar nafsu birahi, tanpa memikirkan risiko penyakit kelamin).

Di depan toko buku ‘Remaja’ suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak memimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu rutin–. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah ke mana.

(Suasana main hakim sendiri sebagai potret ketidakpercayaan rakyat terhadap supremasi hukum).

Masih banyak ungkapan dan idiom menarik dalam LMM yang terkesan vulgar, tetapi juga subtil; mampu membawa imajinasi pembaca pada suasana “tragis” yang berlangsung ketika negeri ini dipimpin oleh Panglima Besar Revolusi (PBR) Soekarno. Perilaku para elite penguasa yang dinilai korup dan culas tak luput dari bidikan Kipandjikusmin lewat gaya ucapnya yang khas; lugas dan apa adanya.

Cerpen LMM selengkapnya, silakan baca di sini atau di sini.

Terlepas dari kontroversi yang telah memancing emosi “fanatisme” umat Islam, LMM secara literer bisa dibilang sebagai teks sastra yang kaya ide. Penuturan-penuturannya lugas dan tidak terjebak pada narasi yang melingkar-lingkar. Sesuatu yang abstrak bisa dikonkretkan lewat diksi yang bernas dan jernih. Sayang, “talenta” Kipandjikusmin telah terbunuh sebelum benar-benar mampu bertahta dalam singgasana sastra Indonesia. Kekayaan ide, imajinasinya yang liar dan mencengangkan, bisa jadi akan mampu menahbiskan Kipandjikusmin sebagai sastrawan “papan atas” seandainya tidak sembrono dan gegabah dalam mempersonifikasikan Tuhan, Muhammad, atau Jibril. Nah, bagaimana? ***

sang pembunuhSejujurnya, saya tersentak ketika membaca komentar Bu Amanda terhadap cerpen saya “Sang Pembunuh”. Mohon maaf sebelumnya kepada Bu Amanda kalau komentar Ibu saya jadikan sebagai topik tulisan. Hal ini penting lantaran menyangkut kreativitas dan “keliaran” imajinasi saya yang sedang belajar menulis cerpen. Apalagi, cerpen tersebut dinilai oleh Bu Amanda “tidak mungkin murni dari bayangan atau ide kreatifitas semata tanpa ditunjang beberapa fakta-fakta yang nyata. Kenapa? Karena cerita tersebut sarat dengan elemen-elemen fakta nyata yang hanya bisa diketahui dan diresapi oleh seseorang yang memang benar-benar telah melalui sebuah masa dibalik jeruji besi.” *Aduh, garuk-garuk kepala.*

Berikut ini komentar Bu Amanda selengkapnya.

Dengan Hormat,
Saya sangat terkesan dengan tulisan “Sang Pembunuh”. Maafkan asumsi saya yang mengatakan bahwa ide cerita tersebut tidak mungkin murni dari bayangan atau ide kreatifitas semata tanpa ditunjang beberapa fakta-fakta yang nyata. Kenapa? Karena cerita tersebut sarat dengan elemen-elemen fakta nyata yang hanya bisa diketahui dan diresapi oleh seseorang yang memang benar-benar telah melalui sebuah masa dibalik jeruji besi.

Kebetulan sudah empat bulan ini saya menjadi istri napi. Dan gambaran yang disodorkan kepada pembaca melalui cerita “Sang Pembunuh” memang benar adanya sehingga membuat saya miris karena begitu mendekati realita.

Sejujurnya, saya tidak pernah tahu mengapa saya setuju menikahi seorang napi. Mungkin karena saya percaya bahwa napi adalah manusia yang tetap memiliki hak hidup dan hak untuk diberlakukan layaknya manusia pada umumnya terlepas dari apapun kejahatan yang telah dilakukannya. Dan penjalanan hukuman kemungkinan besar tidak salah bila diartikan sebagai sebuah bentuk rasa tanggung-jawabnya untuk “menebus” kesalahan.

Namun, tampaknya, gambaran bahwa napi bukan manusia, yang bisa dengan seenaknya dilecehkan dan diperlakukan semena-mena oleh mereka-mereka yang berlindung dibalik seragam aparat semakin jelas terpapar. Penganiayaan napi sudah semakin menjadi-jadi.

Saya menanti karya tulis Bapak dalam memaparkan sebuah cerita “sejenis” cerita “Sang Pembunuh” namun dalam sudut pandang yangberbeda. Mungkin dari segi pandang penantian seorang istri napi, atau justru mungkin dari sudut cerita yang sama sekali berbeda – bagaimana perasaan para sipir penjara yang “terpaksa” menyiksa, menganiaya dan mengintimidasi napi atas suruhan KPLP atau KaLapasnya.

Tulisan Bapak sedemikian hidup. Jauh lebih hidup dari buku-buku beberapa penulis ternama yang berhasil menjual ratusan buku cerita dengan modal nama tenar semata. Mulai saat ini, Bapak merupakan icon saya. Icon penulis yang mengerti betul apa itu menulis.

Salam kenal dari saya, seorang istri napi.

Secara spontan, saya pun merespon balik komentar Bu Amanda berikut ini.

Waduh, saya jadi ge-er nih Bu Amanda. Memang, cerita yang saya paparkan tidak murni dari olahan imajinasi. Ada beberapa fakta menarik yang membuat saya ingin mengungkapkannya dalam bentuk fiksi. Dari berbagai berita sudah sering saya baca bahwa para napi mendapatkan perlakuan yang kurang simpatik dari aparat. Nah, ini yang menarik buat saya. Tentu saja sebagai sebuah fiksi, saya tidak hanya mengalihkan fakta2 manrik itu apa adanya, sebab tugas semacam itu sudah dijalankan oleh para jurnalis atau wartawan. Sebagai orang yang sedang belajar menulis, saya ingin mengungkap fakta dari sudut pandang imajinasi saya, mengamatinya dari susut pandang *halah* hati nurani dan kemanusiaan. Saya sedih terhadap opini yang berkembang di tengah2 masyarakat bahwa Napi identik dengan pesakitan yang layak disingkirkan dan diisolir dari pergaulan. Saya ingin menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yan sempurna. Tidak bisa kita nilai seseorang secara hitam putih bahwa mantan napi pasti jelek, sebaliknya orang yang selama ini dinilai baik pasti tidak memiliki cacat.
Terima kasih Bu Amanda atas apresiasinya, semoga Ibu sabar dan tabah menghadapi persoalan yang Ibu hadapi. Tuhan pasti bersama orang-orang yang sabar.

(Cerpen “Sang Pembunuh” dan komentar Bu Amanda bisa dilihat di sini. )

Komentar itu meluncur secara spontan dan saya sama sekali tidak kenal siapa Bu Amanda yang sesungguhnya. Keesokan harinya, ketika jam istirahat sekolah, saya iseng membuka blog. Ternyata sudah ada respon balik dari Bu Amanda dengan menggunakan nama Ipan Irtsi. Berikut komentarnya:

Mohon pendapat Bapak tentang situs ini: harian-istri-napi.blogspot.com

Akhirnya, saya pun segera meluncur ke sini. Dari blog yang belum lama dibuat itu –bisa dilihat berdasarkan arsip postingan– saya benar-benar bungkam. Tak sanggup berkata apa-apa, apalagi meninggalkan komentar. Suara anak-anak yang riuh di luar sana tak lagi masuk dalam gendang telinga saya. Mouse terus saya pegang, meluncur dari kata per kata, kalimat per kalimat, postingan per postingan. Aduh, tubuh saya bergetar, membayangkan seorang istri yang tengah berjuang sendirian dalam upaya memastikan nasib suaminya yang kini tengah terombang-ambing, bahkan mendapatkan perlakuan yang kurang manusiawi di penjara. Lobi ke lobi tak henti-hentinya dilakukan, tak mengenal ruang dan waktu. Bu Amanda terus menembus batas-batas kesetiaan sebagai seorang isteri.

Saya makin trenyuh ketika perjuangan Bu Amanda (nyaris) tak ada yang meresponnya. Terlepas dari masalah yang sedang menimpa suami Bu Amanda, ada sisi kemanusiaan kita yang sedang terusik. Sedemikian burukkah stigma yang menempel di tubuh seorang nara pidana sehingga tak sedikit orang yang memalingkan muka ketika beradu jidat dengan keluarga sang napi? Bukankah hidup manusia juga akan terus berubah seiring dengan detak zaman dan peradaban yang terus bergulir dalam lipatan waktu?

Saking hanyutnya, saya lupa tidak meninggalkan komentar apa pun di blog Bu Amanda. Ketika tiba di rumah (pukul 15.00 WIB), saya kembali membuka blog Bu Amanda. Kembali saya bungkam. Haruskah saya “menjual” pepatah-petitih tentang moral dan sikap empati secara verbal? Aduh, dengan permohonan maaf, akhirnya saya putuskan untuk membuat tulisan ini.

Mohon maaf, Bu Amanda, kalau saya terlalu berlebihan. Cerpen “Sang Pembunuh” hanyalah sebuah teks fiksi. Memang, ada fakta yang saya hadirkan di sana. Namun, saya tak hanya sekadar mengalihkan fakta ke sebuah teks. Tugas semacam itu sudah dilaksanakan dengan baik oleh para jurnalis. “Sang Pembunuh” sudah melewati penjelajahan batin dan transpirasi batas-batas penulisan cerpen bagi saya yang sedang belajar menulis sebuah cerpen. Bahkan, “busuk”-nya penjara itu sudah “tercium” oleh kepekaan intuisi saya sejak saya belajar di SPG sekitar tahun 1980-an yang kebetulan saat itu ada saudara saya yang sedang berada di penjara.

Perlakuan yang kurang manusiawi ketika para napi berada di penjara juga banyak diberitakan di berbagai media. Itulah yang akhirnya memantapkan langkah saya untuk sekadar mengabadikannya menjadi sebuah cerpen. Hanya itu. Bisa jadi, suasana penjara juga akan terus mengusik para penulis untuk memotretnya ke dalam teks-teks lain yang lebih liar dan imajinatif.

Selamat berjuang Bu Amanda dalam menembus batas-batas kesetiaan sebagai seorang istri napi, semoga ibu bangga dengan predikat semacam itu. Salam hormat. ***

Menurut rencana, RUU Bahasa akan disahkan pada tahun 2007. Namun, hingga saat ini tanda-tanda ke arah itu belum tampak. Bahkan, tahap sosialisasi kepada publik belum juga usai. Terkesan alot dan berbelit-belit. Padahal, RUU itu sudah disusun sejak awal 2006. Alotnya pengesahan UU Bahasa memang bisa dipahami. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Kalau orang berbahasa mesti harus diatur segala oleh undang-undang, bisa “mati kutu”. Orang tak bisa lagi mengekspresikan pikiran dan perasaannya sesuai dengan gaya, kebiasaan, dan latar belakang kulturalnya.

Beberapa pasal dalam RUU yang terdiri dari 10 bab dan 22 pasal ini memang bisa ditafsirkan menghambat kreativitas publik dalam berbahasa, lebih-lebih bagi kalangan pers dan dunia usaha yang mendapatkan perhatian khusus dalam RUU ini. Bahkan, seorang pejabat pun bisa “kena batu”-nya. Dalam RUU yang dibuat oleh Pusat Bahasa Depdiknas ini –konon– disebutkan pula pasal-pasal tentang penggunaan bahasa, termasuk sanksi hukuman penjara dan denda yang akan diterima pihak yang dinilai telah melanggar peraturan dalam berbahasa.

(more…)

Cerpen Pamusuk Eneste
Dimuat di Jurnal Nasional (03/22/2009)

PAK BEN belum tahu apakah ia akan berangkat ke Gambir atau tidak. Ia sangsi apakah masih ada manfaatnya menyambangi stasiun kereta api itu. Jangan-jangan hanya buang-buang waktu. Buang-buang tenaga. Buang-buang energi. Bukankah hidup Pak Ben selama ini sudah berjalan baik-baik saja tanpa ada masalah? Ia mempunyai istri yang setia serta dua anak yang sudah jadi mahasiswa. Kalau toh ke Gambir juga, Pak Ben malah khawatir menimbulkan persoalan baru kelak.

Sekretaris Pak Ben sudah lama meninggalkan ruangan karena jam kantor telah usai dan tak ada tugas lembur. Sebelum meninggalkan ruangan, sang sekretaris malah masih sempat berpesan, ”Kalau ada apa-apa, saya bisa ditelepon di rumah, Pak.”

Kini Pak Ben sendirian di ruangan 6 x 6 meter yang sejuk itu. Dari lantai 10, Pak Ben bisa mengintip Jakarta dan sekitarnya. Ia bisa menatap pencakar langit yang mekar di seantero Jakarta. Rasanya ia bisa merengkuh Monas yang hanya beberapa ratus meter dari kantornya. Stasiun Gambir pun cuma selemparan batu dari ruangannya.

Sepanjang Jalan Merdeka Barat dan Jalan Merdeka Timur kendaraan padat merayap mirip semut beriringan. Hampir tak ada celah untuk menyalip, entah dari kiri entah dari kanan. Rute itulah yang harus dilalui Pak Ben kalau ia hendak ke Gambir beberapa menit mendatang.

Bukan deretan kendaraan yang tak putus-putus itu yang membuat nyali Pak Ben jadi ciut. Bukan pula karena orang yang mengajaknya bertemu itu. Yang membuat Pak Ben bingung adalah bahan obrolan di Gambir nanti. Bayangkan. Setelah 25 tahun tak jumpa muka, apa yang harus dipercakapkan Pak Ben? Bukankah jarak 25 tahun itu sangat panjang? Apa kabarmu sekarang? Sudah berapa anakmu? Kuliah di mana mereka? Suamimu kerja di mana? Apa kamu juga kerja atau cuma jadi ibu rumah tangga?

Ah, semua kata-kata klise. Pak Ben tak suka kata-kata semacam itu. Cuma basa-basi.

Yang lebih runyam lagi, lawan bicaranya pun mengajukan pertanyaan-pertanyaan serupa meski tak sama. Kamu kerja di mana sekarang? Istrimu kerja atau cuma jadi ibu rumah tangga? Anakmu laki atau perempuan? Kuliah di mana mereka?
***

KETIKA sedang berkemas-kemas hendak pulang, telgam Pak Ben disergap sebuah esemes. Mas, aku tunggu di Gambir sebelum pukul 20. Aku lagi di Jakarta, tapi harus buru-buru kembali ke Solo. Lantas di dalam kurung tercantum sebuah nama.

Pak Ben tertegun beberapa jenak, lantas cepat-cepat menghapus esemes itu. Dari mana perempuan itu mengetahui nomor telgamku? Pastilah dia mencarinya ke sana kemari. Jangan-jangan dia mendapatkannya dari ”Profesor Google” atau dari Facebook.

Nama perempuan itu sudah lama terhapus dari memori Pak Ben. Sejak perempuan itu tak mau beranjak dari kotanya (Solo), dan ogah diajak hidup di Ibu Kota (”untuk memperbaiki nasib”), Pak Ben menganggap mereka tak jodoh. Sejak itu pula, Pak Ben berusaha melupakan nama itu. Entah kenapa, kini nama itu menyelinap ke telgamnya. Pak Ben merasa seperti berada di dunia maya. Apa mau dikata, nama itu bukan fiksi, melainkan sungguhan. Nama yang dulu sangat dikenal Pak Ben, bahkan sangat dekat di hatinya.

Pak Ben menuju meja kerjanya. Laptop-nya masih pada posisi on. Pak Ben kemudian membuka situs google.co.id, lalu pindah ke fifa.com. Tak berapa lama, ia beralih ke situs stern.de. Tak juga ada yang menarik minatnya. Dia klik sembarang situs. Terkliklah 25 th-silam.com. Entah kenapa pula, wajah yang muncul di halaman depan adalah wajah Ratih.

Lho …kok?

Akhirnya, Pak Ben memencet tombol Close. Seterusnya Close dan Close lagi.

Pak Ben beralih ke imel. Dia membuka dokumen yang masuk. Ada peluncuran buku. Ada pemutaran film. Ada pameran ini-itu. Belum terhitung spam. Tahu-tahu ada imel menerobos masuk. Pak Ben tak mengenal alamat imel itu. Pak Ben memencet Open. Tahu-tahu muncul wajah Ratih di layar laptop-nya.

Lagi-lagi Pak Ben bingung. Siapa yang kirim?

Pak Ben akhirnya mematikan laptop, lalu ia pindah ke sofa.

Pak Ben menyetel televisi Sony 29 inci. Muncul berita pembunuhan, perkosaan, demo buruh, dan lawakan yang tidak lucu. Semua menyebalkan.

Iseng-iseng Pak Ben memilih saluran TVTerbaru. Lagi-lagi yang muncul adalah Ratih sebagai narasumber. Hebat betul perempuan ini! Si pewawancara menanyakan, apa resep sukses kehidupan Ratih dengan keluarganya sehingga terpilih menjadi Ibu Teladan. ”Yang penting kita saling percaya,” ujar Ratih dengan kalem dan lembut. ”Percaya pada suami, percaya pada anak-anak. Selebihnya, kita harus care dengan keluarga dan sekitar kita.”

Pak Ben memencet tombol Stop pada remote control.
***

PAK BEN belum tahu apakah ia akan berangkat ke Gambir atau tidak. Ia teringat kata-kata seorang psikolog yang pernah dibacanya entah di mana. ”Jangan sekali-kali menjumpai bekas pacarmu kalau tak ingin rumah tanggamu jungkir balik,” kata sang psikolog.

Jarum-pendek pada jam besar bermerk Junghans made in Germany di ruang kerja Pak Ben makin merambat ke angka 8. Itu adalah jam keberangkatan kereta malam eksekutif Gambir à Jogja à Solo Balapan.

Pak Ben berjalan mendekati jendela, kemudian menyibak tirai. Pandangannya menancap ke Stasiun Gambir. Ada rangkaian kereta api yang menanti sinyal berangkat dengan lokomotif mengarah ke timur.

Datanglah ke Gambir. Kita bisa jumpa sejenak. Ada yang ingin kusampaikan kepadamu. Keretaku berangkat jam 20 ke Solo. Datang ya.

Itu bunyi esemes kedua yang masuk ke telgam Pak Ben. Di bawah teks itu ada sebuah nama di dalam kurung: Ratih.

Pak Ben tak membiarkan esemes kedua itu bertengger lama di telgamnya. Dalam beberapa detik, esemes itu sudah lenyap.
***

PAK BEN masih berdiri di depan jendela. Matanya tak lepas dari ular besi yang perlahan-lahan menjauhi Gambir. Lengkingan lokomotif hanya sayup-sayup sampai ke telinga Pak Ben.

Tatapan Pak Ben terpaku pada rangkaian gerbong yang semakin jauh meninggalkan Gambir dan bergerak ke arah Cikini. Di gerbong manakah gerangan perempuan itu?

Ketika gerbong terakhir menghilang di tikungan, secara perlahan-lahan Pak Ben pun menutup kedua belah tirai jendela ruangannya.

Pak Ben kembali ke sofa. Entah kenapa, kini ia merasa lega.

Pak Ben tak tahu apakah ia menyesal atau tidak. Pak Ben juga tak tahu apakah ia telah menyia-nyiakan kesempatan atau tidak.
***

DI DEPAN lift, di lobi gedung berlantai 20 itu, Pak Ben menerima sebuah esemes. Aku sudah titipkan surat-surat cintamu kepadaku 25 tahun yang silam pada seorang satpam di Stasiun Gambir. Aku masukkan dalam sampul tertutup. Aku tak tega membuang/ membakarnya karena aku telah menjadi bagian dari masa silammu. (Ratih)

Pak Ben terpana, lalu buru-buru menghapus esemes ketiga itu.

Tiba-tiba, Pak Ben ingin menulis esemes. Bukan untuk Ratih yang sedang berada dalam kereta malam, melainkan ke seorang perempuan di pinggiran Jakarta. Aku pulang agak terlambat. Makan malamnya jangan dibereskan dulu. Ailafyu.

”Sini Pak tasnya saya bawakan,” kata seorang laki-laki sembari menerima tas-kerja Pak Ben.

”Terima kasih.”

Laki-laki itu bernama Sahroni, yang tak lain adalah sopir pribadi Pak Ben.

Pak Ben berjalan mengikuti Sahroni, menuju tempat parkir.

Sahroni menoleh ke belakang.

”Pulang ke rumah ’kan, Pak?”

Pak Ben mengangguk.

Jakarta, 24/12/2008—10/3/2009 (untuk M.R.)

Cerpen Agus Noor
Dimuat di Koran Tempo (03/29/2009)

Ambulans yang Lewat Tengah Malam

Ambulans yang membawa jenazahmu berkali-kali oleng karena sopirnya ngantuk. “Aku tak mau mati kecelakaan lagi,” katamu. “Sini, biar saya setir.” Pak Sopir pun gantian istirahat di peti mati. Kulihat ambulans itu melintas pelan menuju rumahmu.

Sirene

Kelak, sejak kematianmu itu, anak-anak di kampung kami selalu ketakutan bila mendengar sirene. Bila ada anak yang rewel, si ibu akan menakut-nakuti, “Nanti kau diculik ambulans….” Setiap ada sirene melintas, anak-anak yang tengah bermain gobag sodor atau petak umpet buru-buru berlarian masuk rumah. “Mereka selalu ngeri membayangkan ambulans yang disetiri mayatmu,” kataku.

Kau tersenyum mendengar kisah itu.

Kucing Hitam

Aku ingat, saat para tetangga datang melayat. Banyak yang penasaran kenapa kau mati begitu mendadak. Mereka bercakap nyaris berbisik, menduga-duga–mungkin ada juga yang diam-diam menggunjingkanmu–sementara jenazahmu berbaring tenang. Bau kematian seperti mengendap dalam ruangan.

Saat itulah, mendadak, seseorang menjerit, ketika melihat seekor kucing hitam melompati jenazahmu. Beberapa pelayat yakin: saat itu mereka melihat matamu berkedip-kedip.

Kasus Salah Tangkap

Sampai kini, kematianmu masih berupa misteri bagi kami.

Beberapa orang meyakini, hari itu kau diciduk polisi. Kau tak pernah bisa mengerti, kenapa polisi menangkapmu. Mereka terus menginterogasi. Menggertak dan memukulmu berkali-kali. Memaksamu agar mengaku. Kau dituduh membunuh istrimu. Padahal istrimu masih hidup. Kaulah yang mati.

Misteri Mutilasi

Tetapi beberapa orang yang lain bilang, kalau kau sesungguhnya mati bunuh diri. “Kuperhatikan ia tampak murung belakangan ini,” seseorang berkata. “Aku yakin ia memotong-motong tubuhnya sendiri, dan untuk menghilangkan jejak, ia segera membuangnya ke pinggir kali.”

Itulah sebabnya, kata orang itu melanjutkan, polisi masih sibuk mencari pembunuhnya, sampai kini!

Tentang Seorang Perempuan

Seminggu setelah pemakamanmu, seorang perempuan muncul di kampung kami. Ia menggendong bayi mungil. Wajahnya gugup dan pucat, tetapi tak menghapus kecantikannya. Seolah takut ketahuan, perempuan itu menanyakan di mana rumahmu. Sikapnya membuat kami curiga: jangan-jangan ia istri kedua atau simpananmu.

Lalu seorang warga menjelaskan, kalau kau sudah mati.

“Mati?” ia terlihat tak percaya. “Barusan tadi pagi aku bertemu dengannya….”

Cerita Pelayan Kafe

Seorang tetangga, yang bekerja sebagai pelayan kafe, satu malam menemuiku. Ia bilang, ia juga barusan melihatmu.

Ia melihatmu duduk di sudut remang kafe tempatnya bekerja. Memesan minuman ringan dan kentang goreng. “Katanya ia janjian mau ketemu dengan sampeyan.”

Tapi semalaman aku lembur di kantor, tegasku.

“Ya, ia memang terus sendirian, tapi seolah bercakap-cakap dengan sampeyan yang tak pernah datang.” Sampai kafe tutup. Namun para pelayan kafe masih melihatnya terus duduk di kursi itu. “Sebelum aku pulang, ia menitipkan ini padaku.” Ia menyodorkan sekeping koin. Dan aku segera mengenalinya.

Pada Sebuah Kuburan

Dulu, semasa kanak, kita menemukan sekeping koin perak kusam di pekuburan. Kita memang sering keluyuran ke pekuburan selatan kampung itu. Orang-orang bilang kuburan itu berhantu. Sering, bila tengah malam, terdengar suara yang terus melolong. Aku selalu ketakutan. Seperti kudengar suara lolong menyayat orang sekarat. Tapi kau malah cekikikan.

“Kelak,” katamu, “aku akan mati menjerit kesakitan seperti itu. Aku akan mati terpotong-potong, dan dibuang ke kuburan ini….”

Kemenyan

Barangkali kamu memang tak pernah mati.

Para peronda sering melihatmu berkelebat pulang malam-malam. Mereka kadang juga samar-samar melihatmu duduk-duduk di beranda rumahmu–sesekali batuk-batuk kecil atau berdehem–sembari menikmati rokok kretek. Tapi para peronda itu mencium aroma kemenyan merebak di udara yang seketika terasa menjadi lembab.

Para peronda juga sering melihat istrimu tengah malam berdiri di pintu menunggumu.

Seusai Pemakaman

Aku jadi ingat pada sore seusai pemakaman. Para pelayat baru saja menguburkanmu. Saat itu aku melintas depan rumahmu, dan kulihat kau seperti baru saja pulang. “Ayah pulang! Ayah pulang!” anak-anakmu berlarian riang menyambutmu. Bergelayutan manja pada lenganmu.

Di pintu, kusaksikan mata istrimu berlinang.

Koin Hitam

Kupandangi koin perak yang telah menghitam itu. Tergeletak di meja. Kau tahu, sejak dulu aku tak mau keping koin itu. Tapi tiap kali aku datang ke rumahmu hendak mengembalikan koin itu, yang ada hanya istrimu. Senyumnya yang manis menyuruhku masuk, matanya yang gelisah melirik ke halaman, takut ada yang memergoki.

Setelah kau mati, aku pun sudah berusaha membuang jauh-jauh koin itu berkali-kali. Membuangnya ke selokan. Membuangnya ke tempat sampah. Bahkan sampai jauh ke luar kota. Tapi koin itu selalu saja kembali. Begitu saja: tiba-tiba sudah tergeletak di meja.

Kapak

Aku mengingat malam itu sebagai malam mengerikan dalam hidupku. Kau muncul dan berkata, “Kau punya kapak?”

Apakah kau akan membelah kayu malam-malam begini?

Lalu kau bercerita. “Ada ular dalam kepala istriku. Ular itu datang setiap kali aku tak ada, menyelusup lewat telinga, dan kini mendekam dalam kepalanya. Mungkin kapak ini ada gunanya….”

Tukang Ramal

Kita belum lagi genap tiga belas tahun ketika datang ke pasar malam itu. Keramaian dan lampu warna-warni seperti mimpi yang ganjil. Aku pingin gulali, tapi kau mengajakku ke tukang ramal bermata juling. Kau ingin tahu, bagaimana nanti kita mati.

Tukang ramal itu menyeringai menatap kita “Kalian memang sahabat yang luar biasa,” katanya, “karena kalian mencintai perempuan yang sama.” Kita masih saling bertatapan, ketika tukang ramal itu menarik tanganku. “Dan kau, kau akan mati karena tabrak lari.”

Alibi

Cerita ini kudengar dari para tetangga, karena saat itu aku memang sudah menjauh dari hidupmu.

Mereka mendengar suara istrimu menjerit kesakitan. Itulah jerit kematian paling mengerikan. Pagi harinya, mereka menemukan istrimu mati dengan kepala pecah. Kapak itu tak pernah ditemukan. Meski para tetangga curiga, polisi tak bisa mendakwamu, karena saat itu kau tak ada di tempat kejadian. Kau juga sedang berada di tempat lain, ketika ketiga anakmu ditemukan mati mengenaskan.

Dan para tetangga yang keheranan kemudian mengatakan: ketika mayatmu ditemukan, polisi pun tak bisa mendakwamu. Karena kau juga tak ada di tempat kejadian.

Saat itu kupikir mereka terlalu melebih-lebihkan.

Anjing

Kawan-kawan sepermainan sering bilang, kita pasangan serasi. Mereka tak tahu kalau kau tak menyukaiku yang pendiam. “Kau terlihat mengerikan bila sedang diam,” katamu selalu. “Seperti ada seorang pembunuh yang diam-diam sedang menguasai tubuhmu.”

Suatu hari kau marah karena nyaris digigit anjing tetanggamu. Aku hanya diam mendengar ceritamu. Dua hari kemudian kau mendapati anjing itu mati digorok dan digantung di pagar rumah tetanggamu.

Teka-teki Wajah Pembunuh

Inilah permainan yang kita sukai, menebak teka-teki: bila kelak kita mati terbunuh, seperti apakah wajah pembunuh itu? Kemudian kita masing-masing mengambil kertas dan pensil, membayangkan wajah itu, dan menggambarnya.

Kita melipat kertas itu setelah selesai. Memasukkannya ke amplop, lantas membakarnya, agar kita bisa terus penasaran dan menebak-nebak wajah siapakah yang kau gambar dan aku gambar. Menyimpan rahasia memang selalu mendebarkan.

“Aku bisa menduga, wajah siapa yang kau gambar,” katamu, sambil memandangi api yang melahap kertas itu.

Kubayangkan wajah itu hangus dalam api.

Sumur Tua di Belakang Rumah

Ada sumur tua di belakang rumah kakekmu. Konon, airnya selalu berwarna merah setiap purnama. Di jaman Gestapu dulu, kakekmu dibantai dan dilempar ke sumur itu. Sejak itu, siapa pun tak berani mendekat.

Tapi diam-diam kita suka ke sana, menjenguk ke dalamnya, berharap menyaksikan mayat kakekmu mengapung. Airnya memang begitu bening. Yang kita lihat justru bayangan mayat kita sendiri: memar, rusak dan berdarah karena kecelakaan. Meringkuk di dasar sumur itu.

Puisi Cinta Semasa Remaja

Kau tahu aku suka puisi. Karena itu, ketika kau jatuh cinta, kau memintaku menulis puisi. Kau sebut nama gadis yang telah membuatmu jatuh cinta. Aku pun segera tahu: itulah puisi paling bagus yang bakal berhasil aku tulis.

Kau senang sekali dengan puisi itu. “Kamu benar-benar bisa melukiskan seluruh perasaanku,” katamu. Tidak, aku tak menuliskan perasaanmu, jawabku. Dalam diam tentu saja.

Mayat dalam Koper

Setelah kau menikah, aku memilih pergi mengembara. Ketika tak ada kabar, kau sering membayangkanku sudah mati. Kemudian dari para tetangga aku mendengar, bila sedang ronda kau suka cerita, kalau aku tak lain psikopat yang dicari-cari polisi. “Suatu hari psikopat itu memotong-motong tubuhnya sendiri. Dan sebelum polisi tiba, ia bergegas mengemas koper yang berisi potongan tubuhnya sendiri.”

Mereka selalu tertawa mendengar cerita itu.

Tabrak Lari

Lalu hari sebagaimana diramalkan itu tiba.

Saat terburu berangkat kantor kau menabrak pejalan kaki. Tubuhnya terpelanting dan tergilas. Kau terus tancap gas. Malam harinya, istrimu begitu sedih setelah mendapat kabar kamu mati tertabrak ambulans yang langsung melarikan diri. Ambulans hantu, kata orang-orang. Ambulans yang disetiri mayat yang dibawanya.

Kau menangis menceritakan semua kisah ini padaku yang tadi pagi mati karena tabrak lari. ***

Jakarta, 2009

Cerpen Triyanto Triwikromo
Dimuat di Kompas (04/12/2009)

Akhirnya setelah mencicipi sihir James Bond Martini di balkon The Coogee Bay Hotel yang disaput dingin dan asin angin, Margareth Wilson, yang kupastikan berjalan sambil tidur, membaca juga nubuat tentang perahu kencana dalam Kitab Ular Kembar yang kabur dan penuh bercak darah itu. Kubayangkan ia harus memaknai segala tanda, gambar, simbol-simbol, dan kadang-kadang menyelam ke lautan misteri huruf-huruf Latin yang distilasi menjadi semacam reptil-reptil kecil dari gurun yang purba dan jauh itu.

Nubuat itu, kau tahu, agak berbelit-belit, sehingga untuk memahami pesannya, siapa pun akan seperti seekor koala yang kesulitan mencari jalan keluar dari labirin busuk yang mengepung dan membelit. Meskipun demikian seperti seorang penafsir peta harta karun piawai, Margareth tak kesulitan sedikit pun menyusupkan wahyu semesta yang mungkin penting itu ke lorong-lorong otak.

Walaupun sudah tiga hari tiga malam aku menemani Margareth menyisir pantai, memandang bintang lama-lama, dan berteriak keras-keras menyemangati orang-orang yang sedang hanyut dalam lomba dayung perahu, tak sedikit pun aku tahu apa isi ramalan itu. Hanya secara tak terduga, saat memandang Bukit Coogee didera sinar bulan kuning keperakan, aku mendengar penari yang kucintai itu mendesiskan semacam ayat yang tak pernah kudengar di kitab-kitab suci mana pun.

Pada akhirnya perahu kencana itu menghunjam dari langit kelabu. Setelah amblas ke dasar laut tak jauh dari pantai, seorang penari cantik bakal menyelam mencari bangkai perahu itu dan menemukan patung pria tersalib, lelaki terkulai di pangkuan perempuan tanpa dosa, dan iblis yang tertawa tak kunjung henti. Patung-patung itu kelak akan ditata oleh sang penari di sebuah bukit sehingga membuat Perempuan Suci dari Negeri Suci menampakkan diri di hadapan orang-orang yang dicintai.

Pada saat mendesiskan kata-kata aneh di bawah kucuran air dari gagang shower, Margareth kadang-kadang meloncat-loncat seperti kanguru, kadang-kadang melenggak-lenggok bagai Medusa menari di ujung jalan, dan tak jarang berdiri tegak seperti patung gladiator sesaat sebelum berkelahi dengan singa kelaparan. Aku sebenarnya keberatan melihat tingkah sableng Margareth, tetapi cinta telah menyihir perempuan tangguh sepertiku cuma jadi kucing penurut. Aku bahkan tak bisa mencegah Margareth membuktikan betapa pada suatu malam nubuat tentang perahu kencana menjadi kenyataan.

”Dan akulah penari yang akan menemukan patung-patung itu, April. Aku bakal menyelam ke kabin tergelap, setelah sebelumnya melewati ruang mesin penuh ikan warna-warni.”

”Kau tak takut disambar ikan setan?” aku mendengus tak mampu menyembunyikan kepanikan.

”Tak akan ada binatang buas dari samudra paling ganas yang berani memangsaku, Sayang. Hanya binatang rakus sepertimu yang boleh melahapku. Bukan gurita sialan. Bukan hiu urakan.”

”Apakah aku boleh menemanimu menyelam?”

Margareth tak segera menjawab pertanyaanku. Ia justru memelukku dari belakang dan mendengus-dengus tak keruan. ”Kecuali Sang Utusan, tidak seorang pun boleh menyusup ke kabin suci, Sayang. Jadi, tunggulah aku di atas bukit agar kelak kau menjadi penyaksi pertama keajaiban semesta yang ditumpahkan dari langit sebagaimana Tuhan mencurahkan cahaya aneh pada kercik hujan.”

Tentu aku tak bisa memercayai semua ucapan Margareth yang kadang tertata seperti baris-baris puisi Octavio Paz itu. Margareth, sebagaimana aku, hanyalah penari murahan di teater-teater kecil yang tersebar di Sydney. Ia juga tidak ke gereja atau wihara sehingga kecil kemungkinan kelinci kecil indahku itu dipilih oleh Tuhan dari agama apa pun menjadi nabi atau sekadar orang suci untuk menyembuhkan dunia dari kegilaan dan kiamat yang menyedihkan.

Tetapi sekali lagi cinta telah menumpulkan otak sehingga aku terpaksa mendukung apa pun yang dilakukan Margareth. Dan malam itu dalam amuk harum Martini, aku sama sekali tidak bisa menolak ketika Margareth menyeretku ke atas Bukit Coogee. Tidak! Tidak! Mungkin dengan setengah terpejam, ia menyangka menggandengku dengan lembut sebagaimana Bapa Abraham membimbing putra terkasih ke gunung untuk disembelih. Mungkin ia malah membayangkan diri menjadi Musa yang menyeret rasa cinta untuk bertemu dengan Tuhan di Puncak Sinai.

”Dari bukit inilah kita akan melihat perahu kencana menghunjam dari langit, Sayang. Jangan sekali-kali kaupejamkan matamu. Jangan sekali-kali kau berpaling dari pemandangan menakjubkan itu.”

Kali ini aku tak memedulikan dengus dan desis Margareth. Saat itu, kau tahu, aku hanya takjub mengapa aku bisa mencintai perempuan bergaun hijau dalam dandanan model Kimora Lee Simmons yang dalam tidur sambil berjalan pun semenawan Ratu Cleopatra. Ketakjuban tanpa kesadaran itulah yang membuat aku tak peduli apakah saat itu bakal muncul perahu kencana atau sekadar desau angin busuk di perbukitan. Apa pun tak lebih penting daripada sihir kekasih yang sedang kasmaran bukan? Apa pun tak lebih berguna ketimbang memuja cinta yang sedang mekar seperti cahaya halilintar yang berpendar di samudra hambar bukan?

”April, tugasmu hanya satu, Sayang. Lindungilah aku dari polisi pantai yang sebenarnya sejak tadi menguntit kita. Lucifer, iblis paling galak, telah menyusup ke otak polisi sialan itu, sehingga membuat ia bisa lebih ganas dari teroris mana pun. Jika kau lengah atau sedetik saja terpejam, ia akan menembak jantungmu dan setelah itu lambungku. Ia akan menjadikan serpihan-serpihan daging kita yang tak berguna sebagai makanan hiu…,” desis Margareth di telingaku sambil memberikan pistol kecil bergagang hijau.

Tak kupedulikan setiap kata Margareth yang menjulur-julur dari lidah dan tertatih-tatih menyusup ke telingaku seperti lipan kepanasan itu. Aku justru membayangkan pada saat polisi mengejar Margareth terjun ke laut, aku akan melesatkan peluru-peluru panas ke tubuhnya. Dan karena udara terlalu dingin, mungkin darah tidak akan mengucur dari jantung yang berlubang. Mungkin tetesan darah itu akan mengkristal, melayang pelan-pelan bersama debu, dan akhirnya membentur air laut yang berdebur.

Kau tentu tak mendengar bunyi benturan itu. Tapi kau tak mungkin menampik keberadaan swara yang berbaur dengan gesekan sirip-sirip ikan dengan kelembutan air laut yang kian mengkristal dalam beku udara musim dingin itu.

Tetapi menunggu perahu kencana menghunjam dari langit tak bisa disetarakan dengan saat Estragon dan Vladimir menanti Godot dalam lakon Samuel Beckett. Godot, menurutku, masih memberikan harapan kepada kedua badut sinting yang menganggap waktu telah berhenti itu. Meskipun kedatangannya tertunda, Godot juga memberikan kepastian penyelamatan, sedangkan perahu kencana bukan tidak mungkin hanya berlayar di kepala Margareth.

Dan waktu tak berhenti di Pantai Coogee. Malam kian lingsir. Bayang-bayang gedung yang meruncing ke langit sedikit demi sedikit bergeser. Beberapa pasang kekasih mengakhiri ciuman panjang dan bergegas berjalan ke mobil atau pintu hotel. Semua yang bergerak dalam irama ritmis itu cukup membuktikan tak ada yang dibekukan oleh waktu bukan?

Justru karena semua bergerak—juga ingatan saat bersama Margareth tersuruk-suruk menatap dengan takjub bagaimana para serdadu menghajar Kristus dalam patung-patung kencana di Lourdes—aku jadi bosan menghadapi ketidakpastian yang menyiksa. Karena itu dengan bersungut-sungut aku berbisik pada Margareth, ”Tuhan tak akan pernah lagi memberikan keajaiban kepada manusia-manusia busuk seperti kita. Jadi, sudahlah, Sayang, mari kita kembali ke hotel. Kita reguk Martini yang tersisa. Kita percakapkan tentang sepasang tikus putih dan ular-ular hijau yang kita biarkan berkeliaran di kamar. Kita…”

Belum sempat merampungkan ajakan yang menggoda itu, mataku dihajar oleh cahaya kencana yang menyilaukan. Sial! Sesiluet perahu begitu cepat menghunjam ke ceruk mata dan tak kulihat apa pun kecuali bias segala benda yang kutatap sebelumnya.

Mataku telah buta? Tidak. Begitu bisa membebaskan diri dari pengaruh kilau sinar brengsek itu, aku segera mencari Margareth. Ia ternyata telah berada di bibir bukit dan bersiap terjun ke laut.

Kau tentu tahu apa yang bakal kulakukan. Kau tentu paham tidak mungkin aku membiarkan Margareth menyelam ke dasar laut sendirian. Membiarkan Margareth tenggelam sama saja aku seperti ribuan orang bodoh lain yang memperbolehkan Herodes membunuh setiap bayi laki-laki hanya karena keder terhadap keperkasaan Yesus. Membiarkan ia dimangsa hiu atau ikan setan urakan hanya akan membuat aku kehilangan kesempatan menyelamatkan manusia pilihan yang diberi kesempatan membuktikan keajaiban nubuat perahu kencana.

Dan sekadar kau tahu, dalam amuk Martini dan situasi antara terjaga dan tidur, kau tidak bisa terus-menerus menggunakan otak. Segala tindakan lebih digerakkan oleh insting dan semacam perintah halus yang menyusup ke kalbu. Karena itu ketimbang tetap menunggu di atas bukit dan berkemungkinan mendapat hajaran dari polisi pantai, aku lebih memilih menyusul Margareth. Aku memilih ikut terjun ke laut. Apa pun risikonya.

Baik Margareth maupun aku bukanlah perempuan-perempuan ikan yang bisa leluasa menyelam ke dasar laut. Tetapi dalam pandanganku yang samar, dalam penglihatan yang segalanya berubah menjadi ungu, Margareth tampak seperti ikan duyung yang telah bertahun-tahun mengenal setiap lekuk-liku laut. Ternyata bukan hanya Margareth yang bermetamorfosis. Kian dalam menyelam aku seperti berjalan di keriuhan pasar. Tak diperlukan semacam insang untuk menjadi makhluk laut.

Apakah kami benar-benar menemukan bangkai perahu? Apakah kami menemukan patung pria tersalib, lelaki terkulai di pangkuan perempuan tanpa dosa, dan iblis yang tertawa tak kunjung henti? Menyelam ke kabin tergelap, setelah sebelumnya melewati ruang mesin penuh ikan warna-warni, kami tidak menemukan patung-patung itu. Kami justru berhadapan dengan manusia berdarah dan berdaging. Memandang dari jarak tiga meter aku melihat Margareth berusaha mendekat ke arah pria tersalib yang sedang dililit sepasang ular. Kepala sepasang ular itu saling berebut hendak melahap pria menyerupai Kristus.

”Selamatkan Ia!” aku berteriak.

Margareth tidak menjawab. Ia malah mendekat ke arah perempuan yang senantiasa membopong pria bermahkota duri yang terkulai dan berusaha meminta mereka menjauhkan diri dari bangkai perahu.

”Selamatkan Ia!” aku berteriak lagi.

Margareth masih tidak menjawab. Bersama perempuan yang memancarkan aurora ungu, ia melesat ke arah permukaan laut. Ia meninggalkan aku justru pada saat mataku bertumbukan dengan mata sepasang ular yang kian kuat melilit tubuh pria tersalib.

”Jangan pedulikan aku. Inilah takdirku. Percayalah pada apa yang kaulihat dan segera bantulah Margareth menyelamatkan Ibuku….”

Tak kupedulikan suara teduh itu. Aku mencoba mendekat dan berusaha menghalau sepasang ular jahanam yang sangat ingin menelan bulat-bulat pria tersalib di tiang pancang besi itu.

”Pulanglah. Kau atau siapa pun tidak bisa menyelamatkan aku. Bahkan Ia pun akan membiarkan aku terkulai dan mati pada saat tak seorang pun paham mengapa seorang penjahat harus diadili mengapa seorang pahlawan harus mati.”

Sekali lagi tak kupedulikan suara teduh itu. Aku kian mendekat dan ingin segera membebaskan pria tersalib dari belitan ular-ular itu dengan berbagai cara. Ah, aku salah duga. Semula kusangka ular-ular itu akan beralih mangsa. Ternyata cukup menyabetkan sepasang ekor, mereka bisa melemparkan tubuhku ke permukaan laut. Tubuhku begitu cepat melesat menembus asin air dan akhirnya kembali berada di balkon hotel tanpa basah sedikit pun.

Edan! Bagaimana aku harus menjelaskan peristiwa ini? “Kau telah berjalan sambil tidur, Sayang. Kau telah berjalan mengelilingi bukit dan mengigau tentang Kristus dan penyelamatan. Hmm, jangan-jangan semua itu terjadi karena kau mengenakan kalung Kristus yang kubeli di Afrika Selatan?”

Tak kupersoalkan apakah Margareth atau aku yang berjalan sambil tidur. Sambil meremas pria tersalib dililit sepasang ular di kalungku dengan ketakjuban yang tak tertahankan, aku memandang ke arah Bukit Coogee. Aku jadi ingat nubuat yang dibaca Margareth berulang-ulang saat ia mandi saat ia diamuk wangi Martini. ”Apakah aku harus mengajakmu menyelam ke dasar laut lagi agar kau mau memercayai kisah yang tak pernah termaktub dalam segala kitab dan puisi ini, Margareth? Apakah aku harus terus-menerus mengajakmu tersesat ke labirin mimpi yang absurd dan ganjil lagi?”

Tak perlu Margareth menjawab pertanyaan itu. Toh pada akhirnya nanti di Bukit Coogee Perempuan Suci dari Negeri Suci menampakkan diri di hadapan orang-orang yang dicintai.***

Semarang, 13 Maret 2009

Dibalik?
Oleh Polisi EYD

rony.digitalmediaworks.web.id: Dibalik Cerita Dahyang Sumbi.

Pemakaian kata depan di dan awalan di- yang sering tertukar adalah termasuk kesalahan yang paling banyak dilakukan. Beberapa kesalahan tersebut dapat langsung kita lihat dari kata yang mengikutinya. Misalnya, kata “dipasar” sudah tentu salah karena pasar adalah kata benda sehingga penulisan yang benar adalah “di pasar”. Demikian juga halnya dengan kata “di makan”, sudah jelas salah karena makan adalah kata kerja sehingga kata tersebut seharusnya ditulis “dimakan”.

Namun ada pula kata benda yang dapat diperlakukan sebagai kata kerja, atau yang berubah menjadi kata kerja setelah diberi awalan me- atau di- sehingga penambahan awalan di- ataupun kata depan di tidak bisa serta merta kita nilai kesalahannya tanpa melihat konteks kalimat secara keseluruhan.

Penulisan kata “dibalik”, misalnya, adalah benar pada kalimat “Agar tidak kotor, kertas itu harus dibalik“, tetapi salah pada kalimat “Siapa otak dibalik pembunuhan itu?”.

Andaikan kalimat Fakta Dibalik Ledakan Bom London adalah benar, maka kalimat tersebut bisa kita tulis ulang menjadi Ledakan Bom London Membalik Fakta. Apakah itu yang dimaksud dalam kalimat ini? 🙂

Hasil pencarian di Google menghasilkan begitu banyak kesalahan pemakaian kata “di balik”. Dari sekitar 29.300 situs yang muncul, 90 situs pertama yang saya amati menggunakan kata “dibalik” yang salah alih-alih “di balik”.