Cerpen S Prasetyo Utomo
Dimuat di Kompas (01/20/2002)

TERGODA ranum buah mangga yang bergelantungan, Bondas meloncati pagar rumah Pak Gendut, mengendap-endap. Dipanjatnya pohon mangga itu, dengan perasaan takut. Pagi masih gelap, masih dingin. Bondas merasa terlindung kegelapan. Dipetikinya buah-buah mangga yang masak, disusupkan ke balik kaosnya.Tapi alangkah senyapnya di luar pagar. Tak seorang pun teman Bondas berkelebat di situ. Kesenyapan yang melayap ini mencurigakan. Bondas menatap ke arah pintu rumah Pak Gendut. Alangkah kaget lelaki kecil itu. Berdiri gagah Pak Gendut di depan pintu, membawa cambuk yang bergetar.Buru-buru Bondas turun.

Tar! Tar! Tar! Cambuk itu mendera punggungnya. Ia merasakan kepedihan yang mengelupas kulitnya. Menggeliat. Meringis. Tersungkur. Buah mangga berceceran dari kaosnya.

“Anak jahanam!” dengus Pak Gendut. Tar! Lecutan cambuk itu kembali mendera punggung. Bondas berlari, menghindari lecutan cambuk Pak Gendut. Dengan murka Pak Gendut memburunya.Dari lorong gang muncul ibu Bondas, muda, cantik, berdandan menor, agak sayu, turun dari becak. Lengan perempuan itu tampak menawan, dan perutnya yang singset sedikit terbuka, menyembulkan pusarnya. Bondas berlindung di belakang pantat ibunya. Pak Gendut menjadi sangat lembut, ramah, berpapasan dengan ibu Bondas. Tatapan lelaki itu, yang sebelumnya garang, berubah mesum. Senyumnya menggoda. Buah-buah mangga yang terserak di pelataran, dipungutinya, diberikan pada ibu Bondas.***

TENGAH malam, Bondas terbangun dari lelap tidur. Ia mendengar suara cambuk, berkali-kali mendera punggung di kamar ibunya. Ia menandai, itu cambuk Pak Gendut. Dan ia dengar suara ibunya merintih-rintih. Tak cuma sekali ia dengar deraan cambuk itu. Ibunya tak beranjak dari kamar. Ingin sekali Bondas berlari, mendobrak pintu kamar ibunya, dan menghabisi Pak Gendut-yang suka menyelinap malam-malam semenjak Ayah meninggalkan rumah beberapa bulan silam dan tak pernah kembali.Menggigil di sudut kamar, Bondas tak bisa membebaskan diri dari rasa takutnya. Ia mendekam di sudut kamarnya, merasakan dadanya bergolak, berdebar-debar. Punggungnya, yang pernah kena deraan cambuk Pak Gendut, masih menyisakan kepedihannya. Sesekali ia bangkit, kembali duduk, bangkit lagi. Terdiam.

Terpuruk di sudut kamar. Menggigil.Pelan-pelan Bondas mendekati kamar Ira, kakak perempuannya. Dia melihat Ira terjaga. Tapi tergeletak saja di tempat tidurnya. Mendengarkan rintihan ibunya. Ira lebih tenang, cuma bergolek saja di tempat tidurnya.

“Kita harus menyelamatkan Ibu,” bisik Bondas.

“Kenapa?”

“Pak Gendut menyiksanya dengan cambuk.”

“Kurasa mereka sedang bersenang-senang.”Terheran-heran, Bondas berdiri menganga. Ia berlari ke pintu kamar ibunya. Ditendanginya pintu itu. Digedornya dengan kepalan tangannya. Tetap saja pintu itu tertutup. Kokoh di depan hidungnya. Tangannya terasa sakit. Nyeri. Kakinya seperti patah.Ketika pintu terbentang, alangkah kagetnya Bondas melihat Pak Gendut bertelanjang dada, memburunya dengan cambuk. Dan sekilas, dari celah pintu, ia melihat ibunya dengan punggung telanjang, telungkup, kulit memerah-biru bilur-bilur cambuk.Sebelum cambuk Pak Gendut melecuti tubuhnya, Bondas berlari. Meninggalkan rumah. Terus berlari. Takut, merasa Pak Gendut memburunya, berada di balik kegelapan. Ia pernah merasakan lecutan cambuk itu, dan merasakan betapa pedihnya- nyeri sampai ke dalam dada. Malam itu Bondas menginap di sudut gardu ronda, sesekali tersentak, lantaran bayangan Pak Gendut menyergapnya.***

PADA malam yang menggetarkan, di rumah, Bondas bersembunyi di kolong tempat tidurnya. Ia tak berani beringsut. Tak berani bergerak. Menahan nafasnya kuat-kuat. Pak Gendut memasuki rumah Bondas, membawa cambuk, dan kali ini datang pada saat ibu tak di rumah.Dari dalam kamar, Bondas mendengar Ira menggoda Pak Gendut. Tertawa-tawa. Bercanda. Suaranya riang. Agak lama mereka berbincang-bincang. Terdiam sejenak. Bondas mempertajam pendengarannya.

Suara mereka samar-samar terdengar di dalam kamar Ira.Masih terdengar suara Ira tertawa-tawa dan Pak Gendut terus menggodanya. Hingga terdengar lecutan cambuk menderu, dan Ira berteriak-teriak kesakitan. Pak Gendut terus tertawa-tawa. Ira menjerit-jerit kesakitan. Bondas tak tahan mendengar jeritan Ira-kakak perempuannya yang berangkat remaja. Ia keluar dari kolong tempat tidur dan menghampiri pintu kamar Ira. Digedor-gedornya pintu kamar itu dengan hantaman dan tendangan.Dari pintu kamar Ira yang terbuka, wajah garang Pak Gendut menyeruak, menggeram, menghardik Bondas. Memaki. Cambuk di tangannya diayunkan, melecut wajah lelaki kecil itu. Terasa pedih. Kulit pipinya mengelupas.

Bondas belum sempat menghindar, lecutan cambuk kembali menyobek luka baru pada wajahnya-bilur merah kebiru-biruan, teramat pedih.Berlari meninggalkan rumah, Bondas diburu Pak Gendut yang masih terus melecutkan cambuknya, mendera punggung. Lelaki kecil itu menyelinap dalam lorong gelap gang. Tapi terus saja Pak Gendut memburu dengan cambuk yang dilecutkan.

“Mau lari ke mana kau, anak laknat!” seru Pak Gendut, mendengus.Meski punggung terasa nyeri, terasa tercabik-cabik, Bondas terus berlari. Sesekali dari mulutnya terdengar lengking kesakitan. Dia menyelinap di antara gang-gang sempit, celah-celah di antara rumah-rumah yang berhimpitan. Pak Gendut kehilangan lacak. Tapi Bondas terus berlari, meski ia sudah jauh meninggalkan rumah.Tanpa menoleh, ia terus berlari, dan sepasang matanya mulai terbiasa menjelajahi kegelapan. Ia tak tahu ke mana, terus saja berlari. Tak berani pulang. Bayangan wajah Pak Gendut sangat menyeramkan.***

LAPAR, tak terurus, tanpa arah, Bondas berada di sebuah pinggir kota yang tak pernah dikunjunginya. Telah sehari-semalam ia berjalan kaki meninggalkan rumahnya, tanpa pernah mengerti akan berakhir di sana. Tatapan matanya mengatur, samar, dan bergoyang. Ia bernaung di bawah pohon berbayang-bayang teduh.Dari kejauhan terdengar gamelan pemain kuda lumping. Rombongan penari kuda lumping-yang bermain berkeliling desa itu-letih dari perjalanan dan terik Matahari. Mereka meletakkan gamelan, kuda lumping dan cambuk.

Bondas ketakutan melihat cambuk itu. Tapi dia sudah tak bisa berlari lagi. Tak tersisa tenaga padanya. Dia memilih diam, memandangi penari kuda lumping yang lusuh, dengan telapak kaki retak-retak berdebu, bergurat-gurat menghitam. Pakaian mereka sudah aus, kusam, dengan warna-warna-terutama merah-yang memudar.Ada beberapa pemain kuda lumping menenggak minuman dari botol plastik. Yang lain tiduran. Yang lain lagi membuka nasi bungkus. Dan Bondas yang lapar, haus, letih, tak berkedip memandangi penari kuda lumping, perempuan muda, yang lahap menyuap nasi ke dalam mulut dengan tangan.Ketika perempuan itu melempar bungkus nasi, mencampakkannya ke tanah, buru-buru Bondas memungutnya. Menjilatinya dengan liur berlelehan. Pak Sukra, pemimpin rombongan yang paling tua umurnya, segera menghampiri Bondas, memberikan bungkusan nasinya. Dengan takut, malu-malu, melelehkan air mata, bergetar, Bondas melahap nasi bungkus itu dengan tangannya yang bergetar.***

PERJALANAN rombongan kuda lumping itu mendekati rumah Bondas. Tapi lelaki kecil itu tak menggigil ketakutan sebagaimana dulu ketika meninggalkan rumah. Dadanya mendesir-desir lantaran dendam.Di tanah lapang, seperangkat gamelan diletakkan, dan segera ditabuh. Anak-anak kecil berdatangan, kian lama kian rapat. Seorang penari kuda lumping menari di tengah-tengah tanah lapang itu, membawa cambuk yang sesekali menyentak tanah berumput: tar, tar, tar!Beberapa orang penari mulai meramaikan tarian kuda lumping. Sebuah baskom berisi air kembang diletakkan di tengah tanah lapang. Sesekali penari kuda lumping itu menghirup air kembang dan mengunyah-ngunyah kelopak-kelopak kembang itu.

Gamelan bertalu-talu. Gerakan tarian kian cepat. Lecutan cambuk berulang-ulang, menggetarkan udara.Orang-orang terus berdatangan. Pak Gendut menyeruak di antara orang-orang yang berjubel. Pada saat menatap Pak Gendut, seketika Bondas kesurupan. Dia bangkit dari ketakberdayaannya. Meloncat. Meraih kuda lumping. Menari. Menyusup-nyusup di antara para penari. Melecut cambuk dengan suara tajam menyentak langit: tar, tar, tar!Anak-anak yang mengenal Bondas, bertepuk tangan dan kegirangan melihat lelaki itu kesurupan. Menari dengan gerakan cepat, lentur, dan seirama dengan hentakan gendang.

Menghirup air kembang, dan mengunyah-ngunyah kelopak-kelopak bunga. Lecutan cambuknya terdengar paling tajam menggetarkan udara di tanah lapang. Dia menghampiri Pak Gendut yang mendengus-dengus dengan nafas keji. Diayunkan cambuknya merobek muka Pak Gendut. Anak-anak bersorak. Pak Gendut mengerang beringas. Ayunan cambuk Bondas lebih tajam lagi, bertubi-tubi, merobek kulit muka, dada dan punggung yang terbuka. Pak Gendut berguling-guling di tanah lapang itu. Anak-anak bersorak.Lelaki tambun itu pun mengerang-erang. Menggelepar-gelepar. Menggeliat-geliat kesakitan. Lecutan cambuk Bondas terus mencabik-cabik tubuhnya. Pak Sukra menghembuskan mantra ke ubun-ubunnya. Tapi masih saja ia menari, melecutkan cambuk ke tubuh lelaki tambun yang menggelepar-gelepar kesakitan itu.Anak-anak kecil bersorak-sorak kegirangan. Tanpa henti, anak-anak kecil itu-teman sepermainan Bondas dulu- berjingkrak-jingkrak, memekik senang, “Terus, terus, cambuk dia! Cambuk dia! Cambuk!”***

Pandana Merdeka, November 2001